Langit Baghdad—sebuah kota impian pada masa kejayaan Islam dahulu- menguning dengan senja kuning keemasan yang memijar, memantulkan cahaya pada kubah-kubah masjid yang menjulang. Di sebuah ruang luas di Baitul Hikmah—perpustakaan, lembaga penerjemah, pusat penelitian terbesar yang pernah dimiliki Islam pada zaman Abasiyyah-, seorang pemuda bersorban hijau rak-rak yang penuh dengan manuskrip, kitab-kitab, dan kumpulan ilmu pengetahuan. Jemarinya menyentuh lembaran kuno yang berisi perhitungan matematis Al-Khawarizmi—seorang ulama, tokoh penting dalam perkembangan matematika dunia, penemu teori al-jabbar dan angka nol-, lalu beralih ke risalah filsafat Al-Farabi—salah satu filsuf muslim-.”Ilmu ini”, gumamnya, “Bukan hanya milik satu bangsa, bukan hanya milik satu golongan, bukan hanya milik satu agama, tapi warisan bagi seluruh dunia”.
Ratusan tahun setelah itu, di sisi dunia lain, pada sebuah surau kecil pesantren kampung di pelosok Jawa, seorang santri dengan semangatnya bersila dengan kitab kuningnya. Ia membaca pelan, mencerna setiap kalimat dari tulisan arab gundul itu. “Ilmu itu bukan hanya sekedar hafalan,” kata gurunya, seorang Kyai sepuh dengan suara lembut dan berwibawa. “Ia harus diterapkan dengan akal sehat,” imbuhnya.
Malam semakin larut, Santri itu menutup kitab kuningnya dan memandang langit yang penuh bintang dari jendela surau. Di kejauhan, nampak gemerlap kota yang semakin bercahaya, menggambarkan kemajuan yang terus berjalan dan dunia yang semakin berubah. Ia bertanya pada dirinya sendiri, “apakah tradisi harus dipertahankan? Bukankah ada beberapa yang sudah tidak relevan?”.
Sang Kyai tersenyum seakan membaca isi hati santri, “Apa yang kau pikirkan anak muda? Sepertinya pandanganmu yang sangat tajam itu menggambarkan ketajaman hal yang sedang kau pikirkan?. Santri sedikit terperangah dan terheran dengan ucapan Kyai yang seolah tahu apa yang ia pikirkan, “Ngapunten Kyai, ada sedikit hal dalam pikiran kawulo mengenai kemajuan zaman dan relevansi kebudayaan. Apakah beberapa yang sudah tidak relevan masih perlu dipertahankan?”,
Sang Kyai tersenyum mendengar pertanyaannya lalu menjawab, “Kau tahu, Baghdad dulu adalah pusatnya ilmu dunia. Kota yang luar biasa; berbentuk lingkaran, dengan keindahan tata kota dan arsitektur gedungnya, pertahanannya luar biasa, sanitasi airnya indah dan tertata rapi, impian setiap pencari ilmu untuk masuk dan belajar di dalamnya. Disana, para pemikir Islam seperti Al-Khawarizmi merumuskan Al-Jabar nya, Ibu Sina merumuskan ilmu kedokterannya, dan masih banyak ulama-ulama lainnya. Mereka tidak hanya meneruskan tradisi, tapi juga mengembangkan ilmu baru. Tidak terjebak dalam kebiasaan lama, tetapi juga tidak meninggalkan akarnya.
Santri mengangguk pelan lalu sedikit menelan ludah sebelum bertanya pertanda pertanyaan yang akan ditanyakan sedikit berat untuk ditanyakan, “Lalu bagaimana dengan kita sekarang, Kyai?”
Sang Kyai menarik nafas panjang, “NU adalah rumah bagi kita semua, bagi pemikiran yang tumbuh dari akar tradisi sekaligus terbuka pada dunia yang terus mengalami perubahan. Kita memiliki Bathsul Matsail, tempat para santri dan ulama beradu gagasan, Di sini teks-teks klasik bertemu dibarengi dengan realitas yang terjadi pada zaman sekarang yang relevan, dan tradisi berbincang akrab dengan akal sehat.”
“Di luar surau pesantren, di kampung-kampung, NU hadir dalam tradisi tahlilan, selamatan, majelis dzikir, ziarah kubur, dan lain sebagainya. Orang-orang berkumpul, berdoa, berdialektika, mempererat tali persaudaraan. Namun tidak semua tradisi dapat dipertahankan dengan tanpa penyesuaian. Beberapa praktik budaya yang tidak relevan, terutama yang berbau mistika tanpa dasar yang jelas, sebaiknya mulai dikaji ulang. NU dengan pendekatan intelektualnya dapat memandu perubahan ini tanpa meninggalkan akar yang tetap bermakna bagi kehidupan masyarakat. Seperti akulturasi budaya yang sukses dilakukan oleh para Wali Songo dalam strategi dakwahnya dulu, memodifikasi nilai budaya agar sesuai dengan syariat Islam,” Ujar Sang Kyai.
Santri itu terdiam, mengingat bagaimana di desanya masih terdapat kepercayaan-kepercayaan lama yang lebih didasarkan pada mitos daripada ilmu. Ia ingat bagaimana beberapa orang lebih percaya pada jimat daripada usaha dan doa. “Orang-orang percaya kalau sehelai kain merah di dompet bisa mendatangkan rezeki. Kalau benar begitu, barangkali bank-bank besar sudah memesannya dalam jumlah besar, bukan?”
Sang Kyai tertawa kecil mendengar pernyataan santri lalu melanjutkan, “Feodalisme merupakan sebuah tantangan yang besar dalam merawat tradisi. Di beberapa tempat, masih terdapat kecenderungan untuk menerima sesuatu secara dogmatis tanpa ada ruang diskusi dan kritik yang sehat, NU, dengan warisan intelektualnya, menawarkan jalan tawassuth atau jalan tengah: menghormati otoritas Ulama, tetapi juga mendorong nalar kritis agar tidak mengikuti secara membabi-buta. Tetapi dengan catatan harus tetap dengan akhlak. Jika kita tidak setuju, sampaikan dengan baik. Beliau para Ulama sudah seyogyanya memiliki perhitungan dan dasar yang jelas tentang apa yang Ia ucapkan, makanya layak disebut Ulama.”
Santri menyimak dengan penuh perhatian, “Tapi mohon maaf Kyai, dalam hal Umaro’, meskipun tidak banyak membawa perubahan namun mengapa banyak orang tetap terdiam?”
Sang Kyai tersenyum kecil. “Nah ini pertanyaan yang tak kalah menarik. Ada yang mengatakan bahwa rakyat adalah dalang dan pemerintah adalah wayang. Tapi dalam beberapa kasus, malah justru rakyat yang manut sepenuhnya, seolah-olah merekalah wayang yang tidak boleh memiliki suara sendiri. Yang penting, kalau ada acara bertajuk seremonial, semua harus tepuk tangan, meski dalam keseharian hidup mereka tak berubah.”
Santri tertawa kecil, mulai memahami ironi yang disampaikan oleh sang guru. Dalam benaknya ia membayangkan kegemilangan Baghdad yang diisi oleh ulama pemikir yang luar biasa; Al-Farabi yang menghubungkan filsafat yunani dengan ajaran islam sehingga diteruskan oleh para penerusnya, Al-Khawarizmi yang menemukan rumus al-jabar yang dipelajari dan diaplikasikan hingga saat ini, Ibnu Sina yang membuka jalan ilmu kedokteran. Ia juga membayangkan para ulama nusantara seperti Syaikh Nawawi Al-Bantani, Hadratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari, dan KH Ahmad Dahlan, yang tidak hanya menjaga tradisi tapi juga membawa perubahan.
“Jadi kitab harus belajar dari para ulama terdahulu Kyai?” tanya santri.
Sang Kyai mengangguk sembari tersenyum dan menjawab, “Menariknya, NU tidak menutup diri bagi pemikir modern, terutama pemudanya. Mereka belajar di kampus-kampus besar, mengkaji Islam, dengan pendekatan yang lebih luas, mencari keterkaitan antara tradisi dengan realitas tanpa meninggalkan pijakan yang telah lama dipegang. Mereka mengkritisi zaman dengan kepala dingin, dengan tetap membawa nilai-nilai yang telah diajarkan turun-temurun.”
Malam semakin melarut, santri merasa pikirannya semakin terbuka. Ia menatap kitabnya sembari mengatakan dalam hatinya sebuah hal baru saja ia sadari, bahwa belajar bukan sekedar menghafal, melainkan juga menerapkan dan memahami. Dunia terus berubah, karena tak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri. Namun juga ada yang tetap: cara memahami dan merawat kebijaksanaan yang telah diwariskan.
Ia menutup kitabnya dan tersenyum, sembari menundukkan badan, mengarahkan kedua tangan ke hadapan Kyai untuk berpamitan dan kembali ke kamar. Malam ini begitu menakjubkan, ia menemukan sebuah jawaban.
Syahriza Azizan Sayid, seorang pujangga yang sedang berjuang dengan masa depannya (lagi) – Kuta Selatan, 26 Februari 2025
COMMENTS (2)
Menarik sodara
Keren